Muamaroh Husnantiya - detikHealth
Anak mengeluhkan mimpi buruk yang semalam menghantui? Wajar, Anda tak
perlu cemas. Tetapi, Anda perlu waspada jika mimpi buruk terjadi terus
menerus bahkan hingga anak berusia 12 tahun.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak yang sering mengalami mimpi buruk berisiko lebih besar mengalami psikosis atau gangguan kejiwaan. Psikosis merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi.
Penelitian menunjukkan mimpi buruk pada anak berusia 12 tahun memperbesar risiko terjadinya gejala psikosis seperti halusinasi dan delusi. Anak-anak berusia dua hingga sembilan tahun yang sering terganggu oleh mimpi buruk juga lebih mungkin menderita psikosis dibandingkan mereka yang tidurnya tidak terganggu.
Meski demikian, para peneliti mengingatkan agar para orang tua tidak terlalu cemas. Sebab mimpi buruk sering terjadi di kalangan anak-anak. Mimpi buruk itu akan menghilang seiring mendewasanya usia.
"Kami tidak ingin membuat para orangtua cemas karena berita ini. Tiga dari empat anak mengalami mimpi buruk pada usia semuda itu," ungkap pimpinan tim penelitian, Professor Dieter Wolke, dari Universits Warwick.
"Akan tetapi, mimpi buruk dalam jangka waktu lama, atau jika serangan teror yang terus berlanjut hingga remaja, bisa jadi merupakan pertanda awal akan sesuatu yang penting di kemudian hari," imbuhnya sebagaimana dilansir Daily Mail dan ditulis pada Senin (3/3/2014).
Dalam studi itu, ia dan timnya merekrut lebih dari 6.700 anak-anak. Seperempat grup anak-anak yang berusia 12 tahun mengaku mengalami mimpi buruk dalam enam bulan terakhir. Sedangkan anak-anak yang mengalami teror jumlahnya kurang dari 10 persen. Teror pada anak sering ditandai dengan jeritan kencang atau duduk tegak dalam keadaan panik secara tiba-tiba.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak yang sering mengalami mimpi buruk berisiko lebih besar mengalami psikosis atau gangguan kejiwaan. Psikosis merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi.
Penelitian menunjukkan mimpi buruk pada anak berusia 12 tahun memperbesar risiko terjadinya gejala psikosis seperti halusinasi dan delusi. Anak-anak berusia dua hingga sembilan tahun yang sering terganggu oleh mimpi buruk juga lebih mungkin menderita psikosis dibandingkan mereka yang tidurnya tidak terganggu.
Meski demikian, para peneliti mengingatkan agar para orang tua tidak terlalu cemas. Sebab mimpi buruk sering terjadi di kalangan anak-anak. Mimpi buruk itu akan menghilang seiring mendewasanya usia.
"Kami tidak ingin membuat para orangtua cemas karena berita ini. Tiga dari empat anak mengalami mimpi buruk pada usia semuda itu," ungkap pimpinan tim penelitian, Professor Dieter Wolke, dari Universits Warwick.
"Akan tetapi, mimpi buruk dalam jangka waktu lama, atau jika serangan teror yang terus berlanjut hingga remaja, bisa jadi merupakan pertanda awal akan sesuatu yang penting di kemudian hari," imbuhnya sebagaimana dilansir Daily Mail dan ditulis pada Senin (3/3/2014).
Dalam studi itu, ia dan timnya merekrut lebih dari 6.700 anak-anak. Seperempat grup anak-anak yang berusia 12 tahun mengaku mengalami mimpi buruk dalam enam bulan terakhir. Sedangkan anak-anak yang mengalami teror jumlahnya kurang dari 10 persen. Teror pada anak sering ditandai dengan jeritan kencang atau duduk tegak dalam keadaan panik secara tiba-tiba.
Baik mimpi buruk maupun teror di malam hari merupakan gangguan tidur
yang sering meresahkan. Namun, dua gangguan itu tidaklah sama.
Mimpi buruk terjadi pada fase REM (rapid eye movement) yang lebih dangkal di mana kebanyakan mimpi terjadi pada fase itu. Sedangkan teror malam hari terjadi pada fase tidur lelap, menyebabkan seseorang secara tidak sadar duduk tegak dalam keadaan panik, memukul sekitar, atau menjerit.
Pada usia dua hingga sembilan tahun, anak-anak dalam penelitian Wolke diuji selama enam kali. Hasilnya diketahui bahwa tingginya frekuensi mimpi buruk selama periode tersebut rupanya meningkatkan risiko psikosis di kemudian hari.
Anak-anak yang melaporkan mimpi buruk terus-menerus dalam satu periode penilaian, 16 persen lebih mungkin mengalami psikosis saat remaja dibanding mereka yang tidak mendapat mimpi buruk. Tiga atau lebih banyak mimpi buruk yang terjadi, diasosiasikan dengan risiko gangguan kejiwaan yang bertambah sebesar 56 persen.
Semakin dewasa usia anak, terjadinya mimpi buruk atau teror diasosiasikan dengan risiko psikosis yang semakin tinggi. Pada usia 12 tahun, risiko terjadinya psikosis tiga kali lebih besar jika anak mengalami mimpi buruk. Risiko psikosis dua kali lebih besar jika anak mengalami teror mimpi.
Menurut Lucie Russell, hasil studi ini penting untuk membantu anak-anak yang mengalami gangguan kejiwaan. Fungsi hasil studi ini ialah untuk membantu mengidentifikasi gangguan kejiwaan sedini mungkin. Menurutnya, dengan penanganan lebih awal, anak-anak tersebut bisa terselamatkan dari penyakit mental ketika dewasa.
Mimpi buruk terjadi pada fase REM (rapid eye movement) yang lebih dangkal di mana kebanyakan mimpi terjadi pada fase itu. Sedangkan teror malam hari terjadi pada fase tidur lelap, menyebabkan seseorang secara tidak sadar duduk tegak dalam keadaan panik, memukul sekitar, atau menjerit.
Pada usia dua hingga sembilan tahun, anak-anak dalam penelitian Wolke diuji selama enam kali. Hasilnya diketahui bahwa tingginya frekuensi mimpi buruk selama periode tersebut rupanya meningkatkan risiko psikosis di kemudian hari.
Anak-anak yang melaporkan mimpi buruk terus-menerus dalam satu periode penilaian, 16 persen lebih mungkin mengalami psikosis saat remaja dibanding mereka yang tidak mendapat mimpi buruk. Tiga atau lebih banyak mimpi buruk yang terjadi, diasosiasikan dengan risiko gangguan kejiwaan yang bertambah sebesar 56 persen.
Semakin dewasa usia anak, terjadinya mimpi buruk atau teror diasosiasikan dengan risiko psikosis yang semakin tinggi. Pada usia 12 tahun, risiko terjadinya psikosis tiga kali lebih besar jika anak mengalami mimpi buruk. Risiko psikosis dua kali lebih besar jika anak mengalami teror mimpi.
Menurut Lucie Russell, hasil studi ini penting untuk membantu anak-anak yang mengalami gangguan kejiwaan. Fungsi hasil studi ini ialah untuk membantu mengidentifikasi gangguan kejiwaan sedini mungkin. Menurutnya, dengan penanganan lebih awal, anak-anak tersebut bisa terselamatkan dari penyakit mental ketika dewasa.
sumber : www.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar